Friday, May 20, 2011

Kunci Kejayaan Belajar Bahasa Arab

Berikut ini sebahagian kunci-kunci yang boleh dilakukan untuk mempercepat penguasaan kaedah bahasa Arab. Kami menuliskannya berdasarkan pengalaman kami sendiri mengajar bahasa Arab dan membaca kitab sejak beberapa tahun lamanya -walhamdulillah-:
 
  1. Hendaknya kita mengikhlaskan niat dalam belajar untuk menunaikan kewajiban kita kepada Allah dan membekali diri dengan ilmu agar bisa beramal saleh. Karena amal tidak akan diterima tanpa niat dan cara yang benar. Sementara niat dan cara yang benar tidak akan diperoleh kecuali dengan ilmu. Oleh sebab itu imam Bukhari rahimahullah membuat sebuah bab dalam Kitabul Ilmi di kitab sahih Bukhari yang berjudul ‘Ilmu sebelum ucapan dan perbuatan’. Dalilnya adalah firman Allah ta’ala yang artinya, “Ketahuilah bahwa tidak ada sesembahan (yang benar) selain Allah dan mintalah ampunan untuk dosamu…” (QS. Muhammad: 19). Selain itu hendaknya kita berdoa kepada Allah untuk diberikan ilmu yang bermanfaat.
  2. Sebelum lebih jauh mempelajari kaidah bahasa Arab maka sudah semestinya kita mempelajari cara membaca Al-Qur’an dengan benar sesuai dengan hukum-hukum tajwid agar tidak salah dalam membaca atau mengucapkan. Padahal, salah baca atau salah ucap akan menimbulkan perbedaan makna bahkan memutarbalikkan fakta. Suatu kata yang seharusnya berkedudukan sebagai pelaku berubah menjadi objek dan seterusnya. Tentu saja hal ini -membaca dengan benar serta mengikuti kaidah- tidak bisa disepelekan.
  3. Menambah kosakata merupakan salah satu sebab utama untuk melancarkan proses belajar kaidah dan membaca kitab. Hal ini dapat dilakukan dengan cara membeli Kamus Bahasa Arab-Indonesia seperti Al-Munawwir, atau dengan membeli kamus kecil Al-Mufradat yang berisi kosakata yang sering digunakan dalam kitab-kitab para ulama. Selain itu bisa juga dengan membeli satu jenis buku dengan 2 versi; asli bahasa Arab dan terjemahan. Dengan memiliki kitab berbahasa Arab akan memacu pemiliknya untuk bisa membacanya. Sedangkan dengan terjemahannya akan membantu dalam proses belajar membaca kitab ketika menemukan kata-kata atau ungkapan yang susah dimengerti.
  4. Hendaknya mencari guru yang benar-benar memahami materi kaidah bahasa Arab dan bisa mengajarkannya. Untuk poin ini mungkin sangat bervariasi -tidak bisa diberi batasan yang kaku-, karena tingkat pemahaman orang terhadap kaidah bahasa arab juga bertingkat-tingkat. Hanya saja yang dimaksud di sini adalah perlunya memilih guru yang mengajarkan materi dengan dasar ilmu bukan dengan kebodohan.
  5. Diharapkan kesabaran untuk terus mengikuti pelajaran dan mengulang-ulang pelajaran (muraja’ah) agar pemahaman yang dimiliki semakin kuat tertanam. Apabila menemukan hal-halyang belum dipahami hendaknya segera menanyakan kepada pengajar atau orang yang lebih tahu dalam hal itu. Az-Zuhri rahimahullah mengatakan, “Sesungguhnya ilmu itu dicari seiring dengan perjalanan siang dan malam, barangsiapa yang ingin mendapatkan segudang ilmu secara tiba-tiba niscaya ilmu yang diperolehnya akan cepat hilang.”
  6. Hendaknya bersungguh-sungguh dalam belajar. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan orang-orang yang bersungguh-sungguh di jalan Kami niscaya Kami pun akan memudahkan baginya jalan-jalan menuju keridhaan Kami.” (QS. Al-Ankabut: 69). Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan bahwa di dalam ayat ini Allah ta’ala mengaitkan antara hidayah dengan kesungguh-sungguhan/jihad. Maka orang yang paling besar hidayahnya adalah orang yang paling besar kesungguhan/jihadnya. Pepatah arab mengatakan, “Barangsiapa yang bersungguh-sungguh, niscaya dia akan mendapatkan.”
  7. Untuk boleh meneruskan pembelajaran bahasa Arab bagi newbie maka mengikuti kajian-kajian kitab berbahasa Arab merupakan salah satu cara yang paling efektif untuk membiasakan diri dengan kata atau istilah bahasa Arab yang termaktub di kitab-kitab para ulama. Kitab-kitab yang sudah semestinya dikaji oleh pemula adalah kitab-kitab yang membahas perkara-perkara agama yang harus dipahaminya seperti kitab yang membahas dasar-dasar tauhid semacam Al-Qawa’id Al-Arba’, Tsalatsatu Ushul, dan Kitab Tauhid yang ketiga-tiganya merupakan karya Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah. Apabila tidak bisa mengikuti secara langsung maka bisa diupayakan dengan mendengarkan CD kajiannya atau bahkan kalau ada yang berupa format VCD.
  8. Membaca buku pelajaran kaedah bahasa Arab. Buku-buku pelajaran kaidah bahasa Arab dengan pengantar bahasa Indonesia yang bisa didapatkan misalnya; Ilmu Nahwu Praktis sistem belajar 40 jam karya A. Zakaria (untuk pemula) dan Ringkasan Kaidah-Kaidah Bahasa Arab karya Ustadz Aunur rafiq Ghufron, Lc. (untuk menengah). Atau bagi yang ingin mendengarkan audio pelajaran bahasa Arab bisa mendownload di sini..
Penulis: Abu Mushlih Ari Wahyudi


Friday, May 6, 2011

Naib Fai'l (ناعب الفاعل)

Contoh Ayat Naib Fai'l :

           
                      Bahagian 2                               Bahagian 1

فتح الولد  الباب                              فتح  الباب

      قطفت البنت الزهرة                       قطفت  الزهرة  

 أكل الفأر الجبن                              أكل الجبن


Huraian:   Lihat pada tiga contoh berikut, anda dapati ayat ini terdiri dari jumlah fi’il madhi (الماضي فعل) .Ayat di Bahagian 1 terdiri dari fi’il, fai’l dan mafu’l bih, manakala Bahagian 2 fai’l dikhazafkan(dihilangkan).

Anda juga dapati cara bacaannya juga bertukar bagi Bahagian 1 fiil madhi dibaca dengan baris atas bagi tiga huruf awal. Manakala bagi Bahagian 2, fiil madhi dibaca dengan baris depan (huruf pertama), baca baris bawah (huruf kedua), baris atas ( huruf kedua).



Takrif Naib Fai’il (Melayu): Isim marfu’ yang menggantikan tempat fai’il selepas dihilangkan atau dihapuskan fai’l.

Takrif Arab:
اسم مرفوع حل محل الفاعل بعد حذفه.



P/s: Sila tinggalkan komen tentang artikel ini.

Monday, April 25, 2011

Menyingkap Makna Disebalik Kalimah “Laa Ilaaha Illallah” Dengan Kaedah Bahasa Arab



Menyingkap Makna Disebalik Kalimah “Laa Ilaaha Illallah” Dengan Kaedah Bahasa Arab
Sebagaimana masyhur di kalangan masyarakat muslim Indonesia, bahwa kalimat tauhid laa ilaaha illallah (لَا إِلهَ إِلَّا اللهُ) diartikan dengan “tiada Tuhan selain Allah”. Namun, benarkah terjemahan kalimat tauhid tersebut?
Pembaca yang semoga Allah Ta’ala merahmati Anda, tentunya kita tahu bahwa kalimat tauhid tersebut adalah kalimat dalam bahasa Arab. Ketahuilah, pemahaman yang benar tentang kalimat laa ilaaha illallah tergantung pada benarnya pemahaman kita terhadap asal kalimat ini yaitu dari sisi bahasa Arab. Oleh karena itu, jika kita ingin mengetahui terjemahan dan makna yang benar dari kalimat tersebut, mau tidak mau kita harus menggunakan kaidah-kaidah bahasa Arab.
Mari kita lihat bagaimanakah terjemahan dan makna yang benar dari kalimat laa ilaaha illallah. I’rob kata laa ilaaha illallah yaitu:
Laa: laa naafiyah liljinsi (menafikan semua jenis) beramalan inna yaitu memanshubkan isimnya dan memarfu’kan khobarnya.
Ilaah: isim laa yang mabni (tetap) atas fathah, menempati kedudukan nashob.[2]
Asal kata “ilaah” adalah dari kata alaha (أَلَهَ) yang bersinonim dengan kata ‘abada (عَبَدَ) yang artinya menyembah/beribadah, wazannya fa’ala-yaf’alu (فَعَلَ – يَفْعَلُ) sehingga tashrif isthilahinya menjadi alaha-ya’lahu-ilaahan (أَلَهَ – يَعْلَهُ – إِلاهًا). “Ilaah” adalah isim mashdar, yaitu kata yang menunjukkan atas suatu makna yang tidak terikat oleh waktu, dan mashdar adalah asal dari fi’il (kata kerja) dan asal dari semua isim musytaq (kata jadian).[3] Isim mashdar terkadang dapat bermakna fa’il (subjek/yang melakukan suatu perbuatan) dan dapat bermakna maf’ul bih (objek/yang dikenai suatu perbuatan). Berikut ini contoh suatu mashdar yang dapat bermakna fa’il dan dapat bermakna maf’ul bih, diambil dari hadits riwayat Muslim tentang larangan berbuat bid’ah: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
Man ‘amila ‘amalan laisa ‘alaihi amruna fahuwa roddun“.
Kata “roddun” (رَدٌّ) adalah mashdar. Terdapat beberapa penjelasan ulama tentang apakah makna “roddun” di sini. Sebagian ulama menjelaskan bahwasanya mashdarroddun” di sini bermakna fa’il, yaitu “rooddun” (رَادٌّ) yang artinya “orang yang menolak”. Sehingga makna hadits menjadi “Barang siapa yang mengerjakan suatu amalan yang tidak ada tuntunannya dari kami maka dia adalah orang yang menolak.” Maksudnya adalah menolak syari’at Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sedangkan ulama yang lain memaknai “roddun” dengan makna maf’ul bih, yaitu “marduudun” (مَرْدُوْدٌ) yang artinya “sesuatu yang ditolak”. Sehingga makna hadits menjadi “Barangsiapa siapa yang mengerjakan suatu amalan yang tidak ada tuntunannya dari kami maka amal itu ditolak.” Maksudnya adalah amalan tersebut tidak diterima oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala karena tidak memenuhi syarat diterimanya amal [4].
Kemudian kembali ke “ilaah“, apakah “ilaah” dalam kalimat tauhid bermakna fa’il atau maf’ul bih?
Kata “ilaah” di sini ada yang mengartikannya sebagai mashdar bermakna fa’il, dan ini adalah makna yang keliru yang didukung dengan bukti-bukti yang sangat banyak yang membantah kekeliruan makna tersebut. Ada yang memaknai “ilaah” dengan makna maf’ul bih, dan inilah makna yang benar. Mengapa demikian? Mari kita lihat makna “ilaah” sebagai fail dan sebagai maf’ul bih, sehingga kita tahu makna yang benar.
Yang memaknai “ilaah” dengan makna fa’il mengatakan bahwa yang dimaksud dengan “laa ilaaha illallah” adalah “laa khooliqo illallah” (لَا خَالِقَ إِلَّا اللهُ) yaitu “tidak ada pencipta selain Allah” atau “laa robba illallah” (لَا رَبَّ إِلَّا اللهُ) yaitu “tidak ada pengatur alam semesta selain Allah” atau “laa rooziqo illallah” (لَا رَازِقَ إِلَّا اللهُ) yaitu “tidak ada pemberi rizki selain Allah” dan makna-makna yang lain yang merupakan makna rububiyyah[5]. Ini adalah makna yang sangat bathil, karena kalau “ilaah” di sini dimaknai sebagai fa’il maka makna seperti ini telah diyakini dan disetujui oleh kaum musyrikin Arab pada zaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kaum musyrikin Arab meyakini  bahwa yang menciptakan, yang memberi rizki, dan yang mengatur urusan alam semesta dan sisi-sisi rububiyyah yang lain adalah Allah Subhanahu wa Ta’ala. Banyak ayat Al Qur’an yang menunjukkan bahwa orang-orang musyrikin Arab itu beriman kepada rububiyyah Allah Subhanahu wa Ta’ala, di antaranya:
“Dan sungguh jika engkau tanyakan kepada mereka, “Siapakah yang menciptakan langit dan bumi?” Tentu mereka akan menjawab, “Allah”…” (QS. Luqman:25)
“Katakanlah, “Siapakah yang memberi rizki kepadamu dari langit dan bumi, atau siapakah yang kuasa (menciptakan) pendengaran dan penglihatan, dan siapakah yang mengeluarkan yang hidup dari yang mati, dan mengeluarkan yang mati dari yang hidup, dan siapakah yang mengatur segala urusan?” Maka mereka akan menjawab, “Allah.” Maka katakanlah, “Mengapa kamu tidak bertakwa (kepada-Nya)?” (QS. Yunus: 31)
Akan tetapi pengakuan tersebut tidaklah memasukkan mereka ke dalam agama Islam. Buktinya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tetap memerangi mereka, menghalalkan harta dan darah mereka. Sehingga kalau “ilaah” ini dimaknai dengan fa’il maka konsekuensinya kaum musyrikin Arab adalah orang-orang muslim. Namun, tidaklah demikian. Mengapa? Karena mereka hanya beriman kepada sifat-sifat rububiyyah saja, tetapi mereka menyekutukan Allah dalam beribadah.
Oleh karena itu makna yang benar untuk “ilaah” adalah mashdar bermakna maf’ul bih, “ilaah” bermakna “ma’luuh” (مَأْلُوْهٌ) atau sinonimnya yaitu “ma’buud” (مَعْبُوْدٌ) yang artinya adalah “sesuatu yang disembah/diibadahi”. Sehingga makna “laa ilaaha” adalah “laa ma’buuda“.
Tadi disebutkan bahwa laa beramalan memanshubkan isimnya dan memarfu’kan khobarnya. Lantas, di mana khobar dari laa?
Khobar laa dibuang (mahdzuuf), dan takdirnya adalah “haqqun” atau “bihaqqin“.
Mengapa khobar laa dibuang? Suatu kata boleh dibuang jika makna kalimat sudah dapat diketahui meskipun ada kata yang dibuang dari kalimat tersebut. Saya ambilkan contoh dalam bahasa Indonesia agar lebih mudah dimengerti. Misalkan ada orang yang bertanya, “Siapa Nabimu?” maka jawabannya adalah “Muhammad”. Di sini tentu sudah diketahui maksud dari jawaban yang sangat ringkas tersebut, yang hanya terdiri dari satu kata “Muhammad” saja, yang mana kalimat lengkapnya yaitu “Nabi saya adalah Muhammad.” Meskipun ringkas tetapi kita dapat menangkap maksud dari kalimat tersebut. Suatu kalimat yang ringkas tetapi dapat dipahami maknanya tentu lebih efisien daripada kalimat yang panjang. Nah, demikian juga dalam bahasa Arab. Maka khobar laa pada kalimat tauhid dibuang karena orang-orang Arab pada zaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sudah dapat memahami maknanya, karena mereka adalah orang-orang yang fasih dalam bahasa Arab. Oleh karena itu pulalah orang-orang musyrik Arab zaman dulu tidak mau mengucapkan kalimat laa ilaaha illallah meskipun mereka mengakui bahwa Allah adalah robb mereka, karena mereka paham akan makna dan konsekuensi dari kalimat tauhid tersebut.
Sebagian orang mentakdirkan bahwa khobar laa yang dibuang itu takdirnya adalah “maujuudun” (مَوْجُوْدٌ) yang artinya “ada”, sehingga mereka memaknai “laa ilaaha illallah” dengan “laa ilaaha maujuudun illallahu” (لَا إِلهَ مَوْجُوْدٌ إِلَّا اللهُ) artinya “tidak ada sesembahan yang ada kecuali Allah”. Jika demikian maka ada beberapa konsekuensi yang fatal, di antaranya adalah:
  1. Kalau khobar laa yang dibuang ditakdirkan dengan “maujuudun” maka hal ini tidaklah sesuai dengan realita yang sesungguhnya. Karena realita menunjukkan bahwasanya selain Allah masih banyak sesembahan yang lain. Ada orang yang menyembah matahari dan bulan, ada yang menyembah orang shalih, malaikat, patung, dewa, dan sebagainya.
  2. Kalau dimaknai dengan “laa ilaaha maujuudun illallah” maka konsekuensinya semua sesembahan yang ada di dunia ini pada hakikatnya adalah Allah. Contoh: karena patung berhala adalah sesembahan kaum musyrikin Arab dulu maka patung berhala adalah Allah, karena Yesus adalah sesembahan kaum Nasrani maka Yesus adalah Allah, karena ‘Uzair adalah sesembahan Yahudi maka ‘Uzair adalah Allah, karena dewa-dewa adalah sesembahan orang Hindu maka dewa-dewa adalah Allah. Tentunya tidak demikian bukan?
Oleh karena itu, yang benar adalah mentakdirkan khobar laa yang dibuang dengan “haqqun” atau “bihaqqin“. Sehingga kalimat tauhid yang lengkap sebenarnya adalah
laa ilaaha haqqun illallahu
dan maknanya yang benar yaitu
laa ma’buuda haqqun illallahu
atau
laa ma’buuda bihaqqin illallahu.
Maknanya adalah “tidak ada sesembahan yang haq selain Allah” atau “tidak ada sesembahan yang berhak disembah selain Allah”. Hanya Allah-lah satu-satunya yang berhak untuk disembah dengan benar. Hanya kepada Allah-lah kita menujukan semua amal ibadah kita, bukan kepada selain-Nya.
Illa: alat istitsna (untuk mengecualikan).
Lafadz jalalah “Allah” sebagai badal (pengganti) dari khobar laa yang dibuang. Karena sebagai badal, maka i’rob lafadz jalalah “Allah” adalah sesuai dengan mubdal minhu (yang digantikan)nya yaitu khobar laa. Ingat, khobar laa mempunyai i’rob marfu’, maka badalnya yakni lafadz jalalah “Allah” juga ikut marfu’, yang mana lafadz jalalah “Allah” ini adalah isim mufrod (kata tunggal) yang marfu’ dengan tanda dhommah sehingga berbunyi “Allahu”.
Antara badal dengan mubdal minhu bendanya adalah sama. Maka khobar laa yaitu “haqqun” digantikan dengan “Allah” menunjukkan bahwa yang haq itu ialah Allah, Allah itulah yang haq.
“Demikianlah, karena sesungguhnya Allah, Dialah yang haq, dan apa saja yang mereka seru selain Allah adalah bathil. Dan sesungguhnya Allah, Dialah Yang Maha Tinggi lagi Maha Besar.” (QS. Luqman: 30)
Demikianlah, semoga apa yang kami sampaikan dapat membantu kita dalam memahami kalimat tauhid yang sangat agung ini. Betapa suatu kenikmatan yang sangat besar jika kita dapat memahami makna kalimat laa ilaaha illallah dan mengamalkannya, sehingga berbuah surga-Nya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Barang siapa yang mati dalam keadaan dia mengilmui bahwa sesungguhnya tidak ada sesembahan yang berhak disembah selain Allah, maka dia akan masuk surga.”[6]
Alhamdulillahilladzi bini’matihi tatimmush sholihat.
Wal ‘ilmu ‘indallaah
Selesai disusun di wisma ceRIa, 12 April 2010 pukul 3:13 a.m.
Yang selalu membutuhkan ampunan dari Rabb-nya

[1] Kami mendapatkan faidah yang agung ini dari Ust. M. Saifuddin Hakim hafizhohullah pada saat pelajaran baca kitab “Minhaj Al-Firqotu An-Najiyah wa Ath-Thoifatu Al-Manshuroh” Ma’had al-’Ilmi Akhowat.
[2] Karena “ilaah” adalah isim nakiroh mufrod dan bukan mudhof atau syibhul mudhof, maka hukumnya sebagai isim laa adalah mabni atas tanda nashobnya, yaitu fathah.
[3] Lihat Mulakhkhosh Qowa’idu Al-Lughoti Al-’Arobiyyati (1/30-31)
[4] Syarat diterimanya amal adalah ikhlas dan ittiba’ (mengikuti tata cara yang dituntunkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam). Adapun pada hadits ini, amalan tersebut ditolak karena tidak sesuai dengan tuntunan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Penjelasan lebih lengkap bisa dilihat di Syarah Hadits Arba’in. Wallahu a’lam.
[5] Yang berkaitan dengan perbuatan Allah seperti mencipta, mengatur alam semesta, memberi rizki, menghidupkan, mematikan, dll.
[6] HR. Muslim (26), Ahmad (464), An Nasa’I dalam “Al Kubra” (109252), Al Bazzar (4150, dan Ibnu Hibban (201).
Sumber: http://pengenkemadinah.wordpress.com

KEPENTINGAN MEMPELAJARI ILMU NAHU ( النحو) : TATABAHASA

Mengetahui ilmu nahu adalah amat penting kerana dengan bertukar dan berubahnya i’rab (اِعـْـرَاب
- sebutan / baris huruf akhir sesuatu perkataan), maka makna juga akan berubah dan untuk menentukan sesuatu i’rab itu bergantung kepada ilmu nahu.
Rujukan:
Shaikhul Hadith Hazrat Maulana Muhammad Zakariya r.alaih. 2002. FADHILAT AL-QUR’AN. Kuala Lumpur : Era Ilmu Sdn. Bhd. m.s 23

Thursday, April 21, 2011

Islam dari segi Sains



  • Born in 1929 in the village of Jilka, which belongs to the island of “Butan”, i.e. Ibn ‘Umar, situating inside the Turkish boundaries, north of Iraq. He immigrated toDamascus with his late father, Mulla Ramadan when he was four years old.
  • Completed his legal secondary study in the Institute of  Islamic Guidance in Damascus, and joined the faculty of religion at Al-Azhar University. He acquired ‘The International’ Certificate there in 1955. Next year, he joined the faculty of Arabic at Al-Azhar, too and acquired education Diploma at the end of the same year.
  • Appointed as dean in the faculty of religion at Damascus University in 1960, and deputed to Al-Azhar University to attain doctorate in the roots of the Islamic law. He could acquire the relevant certificate in 1965.
  • Appointed as instructor in the college of law of Damascus University in 1965, as a deputy of the college later on and as its dean in the end. At present, he is the chief of the Department of tenets and religions at Damascus University.
  • Participated, and is still participating, in many global conferences and symposia, and is, in addition, a member in the royal society of the Islamic Civilization Researches in Amman, and member in the higher board of Oxford academy.
  • Speaks Turkish and Kurdish well, and fair in English.
  • Wrote no less than forty books on the sciences of religion, literature, philosophy and sociology, the problems of civilization and others.

Thursday, April 14, 2011

KELEBIHAN SOLAT SECARA BERJEMAAH

 629 حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ بَشَّارٍ بُنْدَارٌ قَالَ حَدَّثَنَا يَحْيَى عَنْ عُبَيْدِ اللَّهِ قَالَ حَدَّثَنِي خُبَيْبُ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ عَنْ حَفْصِ بْنِ عَاصِمٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ سَبْعَةٌ يُظِلُّهُمْ اللَّهُ فِي ظِلِّهِ يَوْمَ لَا ظِلَّ إِلَّا ظِلُّهُ الْإِمَامُ الْعَادِلُ وَشَابٌّ نَشَأَ فِي عِبَادَةِ رَبِّهِ وَرَجُلٌ - ص 235 - قَلْبُهُ مُعَلَّقٌ فِي الْمَسَاجِدِ وَرَجُلَانِ تَحَابَّا فِي اللَّهِ اجْتَمَعَا عَلَيْهِ وَتَفَرَّقَا عَلَيْهِ وَرَجُلٌ طَلَبَتْهُ امْرَأَةٌ ذَاتُ مَنْصِبٍ وَجَمَالٍ فَقَالَ إِنِّي أَخَافُ اللَّهَ وَرَجُلٌ تَصَدَّقَ أَخْفَى حَتَّى لَا تَعْلَمَ شِمَالُهُ مَا تُنْفِقُ يَمِينُهُ وَرَجُلٌ ذَكَرَ اللَّهَ خَالِيًا فَفَاضَتْ عَيْنَاهُ 



628 حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مَسْلَمَةَ عَنْ مَالِكٍ عَنْ أَبِي الزِّنَادِ عَنْ الْأَعْرَجِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ الْمَلَائِكَةُ تُصَلِّي عَلَى أَحَدِكُمْ مَا دَامَ فِي مُصَلَّاهُ مَا لَمْ يُحْدِثْ اللَّهُمَّ اغْفِرْ لَهُ اللَّهُمَّ ارْحَمْهُ لَا يَزَالُ أَحَدُكُمْ فِي صَلَاةٍ مَا دَامَتْ الصَّلَاةُ تَحْبِسُهُ لَا يَمْنَعُهُ أَنْ يَنْقَلِبَ إِلَى أَهْلِهِ إِلَّا الصَّلَاةُ

Monday, April 11, 2011

SEJARAH PAKAR PERUBATAN ISLAM

MOHAMMAD IBN ZAKARIYA AL-RAZI

(864-930 A.D.)

 

Abu al-Qasim Khalaf bin
'Abbas el-Zahrawi (940? - 1013 C.E.)
            Abu Bakr Mohammad Ibn Zakariya al-Razi (864-930 A.D.) was born at Ray, Iran. Initially, he was interested in music but later on he learnt medicine, mathematics, astronomy, chemistry and philosophy from a student of Hunayn Ibn Ishaq, who was well versed in the ancient Greek, Persian and Indian systems of medicine and other subjects. He also studied under Ali Ibn Rabban. The practical experience gained at the well-known Muqtadari Hospital helped him in his chosen profession of medicine. At an early age he gained eminence as an expert in medicine and alchemy, so that patients and students flocked to him from distant parts of Asia. He was first placed in-charge of the first Royal Hospital at Ray, from where he soon moved to a similar position in Baghdad where he remained the head of its famous Muqtadari Hospital for along time. He moved from time to time to various cities, specially between Ray and Baghdad, but finally returned to Ray, where he died around 930 A.D. His name is commemorated in the Razi Institute near Tehran.


           Razi was a Hakim, an alchemist and a philosopher. In medicine, his contribution was so significant that it can only be compared to that of Ibn Sina. Some of his works in medicine e.g. Kitab al- Mansoori, Al-Hawi, Kitab al-Mulooki and Kitab al-Judari wa al- Hasabah earned everlasting fame. Kitab al-Mansoori, which was translated into Latin in the 15th century A.D., comprised ten volumes and dealt exhaustively with Greco-Arab medicine. Some of its volumes were published separately in Europe. His al-Judari wal Hasabah was the first treatise on smallpox and chicken-pox, and is largely based on Razi's original contribution: It was translated into various European languages. Through this treatise he became the first to draw clear comparisons between smallpox and chicken-pox. Al-Hawi was the largest medical encyclopaedia composed by then. It contained on each medical subject all important information that was available from Greek and Arab sources, and this was concluded by him by giving his own remarks based on his experience and views. A special feature of his medical system was that he greatly favoured cure through correct and regulated food. This was combined with his emphasis on the influence of psychological factors on health. He also tried proposed remedies first on animals in order to evaluate in their effects and side effects. He was also an expert surgeon and was the first to use opium for anaesthesia.


                      In addition to being a physician, he compounded medicines and, in his later years, gave himself over to experimental and theoretical sciences. It seems possible that he developed his chemistry independently of Jabir Ibn Hayyan. He has portrayed in great detail several chemical reactions and also given full descriptions of and designs for about twenty instruments used in chemical investigations. His description of chemical knowledge is in plain and plausible language. One of his books called Kitab-al-Asrar deals with the preparation of chemical materials and their utilization. Another one was translated into Latin under the name Liber Experi- mentorum, He went beyond his predecessors in dividing substances into plants, animals and minerals, thus in a way opening the way for inorganic and organic chemistry. By and large, this classification of the three kingdoms still holds. As a chemist, he was the first to produce sulfuric acid together with some other acids, and he also prepared alcohol by fermenting sweet products.


                His contribution as a philosopher is also well known. The basic elements in his philosophical system are the creator, spirit, matter, space and time. He discusses their characteristics in detail and his concepts of space and time as constituting a continuum are outstanding. His philosophica! views were, however, criticised by a number of other Muslim scholars of the era.


             He was a prolific author, who has left monumental treatises on numerous subjects. He has more than 200 outstanding scientific contributions to his credit, out of which about half deal with medicine and 21 concern alchemy. He also wrote on physics, mathe- matics, astronomy and optics, but these writings could not be preserved. A number of his books, including Jami-fi-al-Tib, Mansoori, al-Hawi, Kitab al-Jadari wa al-Hasabah, al-Malooki, Maqalah fi al- Hasat fi Kuli wa al-Mathana, Kitab al-Qalb, Kitab al-Mafasil, Kitab-al- 'Ilaj al-Ghoraba, Bar al-Sa'ah, and al-Taqseem wa al-Takhsir, have been published in various European languages. About 40 of his manuscripts are still extant in the museums and libraries of Iran, Paris, Britain, Rampur, and Bankipur. His contribution has greatly influenced the development of science, in general, and medicine, in particular.
Search